“In ahsantum, ahsantum
lianfusikum, wa in asa’tum falaha,”
Jika kalian melakukan
kebaikan, maka kalian telah melakukan kebaikan untuk diri sendiri. Dan jika
kalian melakukan kejelekan maka kejelekan itu akan berakibat pada diri sendiri
pula. (QS. Al-Isra’ [17]:7).
Mengikuti program
pendidikan di Pondok Pesantren Darul Qurro tidak cukup hanya dengan
bermodalkan kepercayaan pasif. Bahwa asalkan seorang santri mampu
beraklimitasi dengan kehidupan Pondok dan muthi’ (taat dan disiplin) saja,
dijamin akan berhasil.
Pengetahuan
tidak selamanya sejajar dengan tindakan. Banyak diantara kita yang sudah tahu
dan mengerti akan sesuatu, tetapi pengetahuan ini saja tidak cukup untuk
mewujudkan aksi, karena ada persoalan lain, yaitu mau atau tidak mau
mengerjakannya.
Sebagai contoh, kita semua tahu shalat, puasa, zakat dan banyak
hal lainnya adalah benar-benar perintah Allah dan hukumnya wajib. Namun, dalam
kenyataannya, apakah semua orang mengerjakan shalat dan puasa? Semua orang
tahu bahwa shalat dan puasa itu adalah hal yang baik, tapi apakah mereka semua
mengerjakan perbuatan yang sudah jelas baik itu? Shalat dan puasa itu jelas
berguna, tapi tidak semua orang mau mengerjakannya.
Di luar itu, dalam masalah-masalah yang bersifat duniawi,
seperti menjadi guru, petani, pedagang, pegawai, polisi dan lain sebagainya,
secara umum orang tahu dan merasakan bahwa semua itu adalah baik dan berguna.
Tapi masih banyak orang yang menghindar dan malah terjerumus dalam bidang
pekerjaan yang buruk atau tidak berguna. Disini jelas dibutuhkan sebuah
penghubung yang menjembatani antara pengetahuan dan implementasinya. Penghubung
tersebut adalah keterpanggilan.
Keterpanggilan ini tidak ada kaitannya dengan pangkat dan jabatan seseorang.
Keterpanggilan ini terkait dengan diri sendiri. Jika engkau terpanggil bahwa
berdagang itu benar, baik dan berguna maka berdaganglah. Jika engkau terpanggil
mendirikan pesantren ini adalah jalan ibadahmu kepada Allah, maka lakukanlah.
Keterpanggilan itu berasal dari fitrah manusia yang sempurna.
Pada umumnya setiap manusia memiliki perangkat kemanusiaan yang
sempurna, mulai dari otak, pikiran, hati, fisik, dan lain sebagainya.
Dengan perangkat-perangkat itulah akhirnya ia terpanggil untuk melakukan
sesuatu. Mendirikan pesantren, misalnya, bukan karena disuruh, apalagi
terpaksa, dan juga bukan karena faktor lingkungan. Ini penting, karena jika
pesantren didirikan atas dasar kebutuhan lingkungan, maka jika lingkungan
sudah tidak lagi membutuhkan pesantren, maka pesantren tersebut akan bubar.
Apalagi jika mendirikan pesantren karena keduniawian dan kenikmatan materi,
na’udzubillah.
Wujud keterpanggilan ini sangat beragam. Ada keterpanggilan
finansial, keterpanggilan emosional, dan keterpanggilan spiritual. Tapi yang
jelas, dengan adanya keterpanggilan ini, maka tumbuhlah kemauan. Dalam
konteks pesantren, tidak semua orang punya naluri dan kemauan untuk
mendirikan pesantren, meski punya banyak modal untuk mendirikannya. Dan
keterpanggilan spiritual menempati posisi tertinggi di pondok pesantren.
Para pendiri, mendirikan pondok yang khas berbanding dengan
pondok-pondok yang ada di masa kini. Hal itu mereka lakukan karena ada
kemauan. Kalau unsur kemauan ini tidak ada, maka Pondok Darul Qurro tidak
mungkin berdiri.
Orang yang sudah diberi kesempatan, harus punya keberanian dan
siap mengambil resiko. Ketika kami mendapat amanah mengurusi Pondok Darul
Qurro, maka kami harus siap dibenci atau dicintai, harus siap melarat atau
kaya, siap menghadapi wali murid, masyarakat dan pemerintah. Tanpa keberanian
dan kesiapan mengambil resiko, jangan pernah berfikir mengambil kesempatan.
Karena jika hal itu dilakukan maka hanya akan menjadi penyakit di kemudian hari.
Jika engkau terpanggil bahwa berdagang itu benar, baik dan
berguna maka berdaganglah. Jika
engkau terpanggil mendirikan pesantren ini adalah jalan ibadahmu kepada Allah, maka lakukanlah.
Keterpanggilan itu berasal dari fitrah manusia yang sempurna.
0 comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.